Minggu, 18 Oktober 2015




 
 
Memuja Dewa Kemakmuran di Pura Batur
Aham bhumim adadam aryaya.
aham vrsthim dasuse martyaya,
aham apo anayam vavasana
mama devaso anu ketam ayam.
(Rgveda IV.26.2).
Maksudnya: Aku anugerahkan bumi ini kepada orang yang mulia. Aku turunkan hujan yang bermanfaat bagi semua makhluk. Aku alirkan terus gemuruhnya air dan hukum alam yang patut pada kehendak-Ku.
Pura Besakih disebut Pura Purusa, sedangkan Pura Batur disebut Pura Pradana.
Di Pura Besakih, Tuhan dipuja untuk menguatkan jiwa kerohanian umat untuk mencapai kebahagiaan spiritual. Sedangkan di Pura Batur, Tuhan dipuja untuk menguatkan spiritual umat dalam membangun kemakmuran ekonomi.
Tenang secara rohani dan makmur secara ekonomi merupakan dambaan universal setiap umat manusia di dunia ini. Mengapa disebut Pura Purusa dan Predana. Hal ini diceritakan dalam Lontar Usana Bali. Dalam Lontar Usana Bali itu diceritakan secara mitologis bahwa Gunung Mahameru di India sangat tinggi hampir menyentuh langit. Kalau langit sampai tersentuh maka hancurlah alam ini. Karena itu Sang Hyang Pasupati mengambil puncak Gunung Mahameru di India dengan kedua tangannya. Bongkahan Gunung Mahameru itu diterbangkan ke Bali. Bongkahan yang digenggam dengan tangan kanan beliau menjadi Gunung Agung. Sedangkan bongkahan pada tangan kiri beliau menjadi Gunung Batur. Di Gunung Agung distanakan Sang Hyang Putra Jaya (Sang Hyang Maha Dewa). Sedangkan di Gunung Batur distanakan Dewi Danuh. Dewi Danuh itu tidak lain adalah saktinya Dewa Wisnu. Dewa Wisnu adalah Tuhan sebagai dewanya air untuk kemakmuran makhluk hidup.
Lontar yang menyebutkan keberadaan Pura Batur ini antara lain Lontar Usana Bali, Lontar Kusuma Dewa, Lontar Raja Purana Batur. Menurut lontar tersebut Pura Batur adalah Pura Sad Kahyangan yang tergolong Kahyangan Jagat untuk memuja Tuhan sebagai Dewa Kemakmuran. Kahyangan Jagat adalah tempat pemujaan Tuhan bagi semua umat Hindu.
Dasar membangun kemakmuran dinyatakan dalam Bhagawad Gita adalah kris, goraksya dan vanjyam yang artinya pertanian, peternakan dan perdagangan. Kemakmuran tersebut tidak mungkin terwujud tanpa ada air. Dari airlah stavira (tumbuh-tumbuhan), janggama (hewan) dan manusia mengembangkan kehidupannya.
Salah satu tujuan pendirian Sad Kahyangan itu untuk memotivasi umat manusia melestarikan Sad Kerti membangun kesejahteraan lahir batin. Danu Kerti dan Wana Kerti adalah dua dari enam unsur Sad Kerti. Air samudera menguap menjadi mendung. Mendung jatuh menjadi hujan. Air hujan yang turun tanpa ada tumbuh-tumbuhan akan bablas langsung ke laut.
Kalau ada tumbuh-tumbuhan sebagai hutan di lahan yang tinggi seperti bukit dan gunung maka air tersebut akan teresap dengan baik. Air yang diresap oleh hutan itu akan menjadi danau dan sungai yang terus mengalir tak henti-hentinya. Demikianlah hukum alam ciptaan Tuhan.
Proses alam seperti itu harus dipelihara dan dijaga dengan baik oleh umat manusia dengan arif dan bijak. Air, tumbuh-tumbuhan bahan makanan dan kata-kata bijak adalah tiga ratna permata di bumi menurut Canakya Nitisastra. Kalau air dan tumtuh-tumbuhan tanpa dikelola dengan kata-kata bijak maka semuanya itu akan membawa bencana bagi umat manusia dan makhluk hidup lainnya di bumi ini.
Memuja Tuhan sebagai Dewi Danuh, saktinya Dewa Wisnu untuk memelihara tegaknya eksistensi kata-kata bijak mengelola proses alam itu. Kalau proses alam tersebut dikelola dengan nafsu keserakahan justru akan membawa bencana bagi manusia. Perpaduan Pura Ulun Danu Batur, Gunung Batur, Danau Batur dan hutan di kawasan Kintamani merupakan keindahan yang amat memukau. Upacara keagamaan Hindu dan sembahyang di Pura Ulun Danu Batur itu hendaknya diarahkan untuk mencerahkan umat agar menjaga keindahan tersebut.
Keberadaan Pura Ulun Danu Batur di kawasan Kintamani itu harusnya dijadikan pusat penguatan jiwa untuk memotivasi umat dalam memelihara lestarinya perpaduan proses alam yang indah memukau.
Kawasan tersebut sebagai kawasan resapan air di Bali. Kalau kawasan tersebut rusak maka salah satu sumber untuk ajegnya alam Bali akan terancam. Jadi, bukan orang Kintamani dan Bangli saja yang rugi, tetapi Bali secara keseluruhan. Perhatian kepada Pura Ulun Danu Batur itu tidak boleh berhenti pada proses pemujaan dan upacara semata. Pemujaan umat ke Pura Ulun Danu Batur harus ditujukan untuk mendalami dan memahami nilai-nilai universal yang berada di balik Pura Ulun Danu Batur itu. Salah satu nilai universalnya adalah adanya amanat untuk menjaga kelestarian air dan hutan di Bali. Sesuai dengan Sarasamuscaya 135, lakukan Bhuta Hita (alam sejahtra) terlebih dahulu untuk menjamin tercapainya tujuan hidup dharma, artha dan kama di dunia sekala dan moksha di dunia niskala.
* Ketut Gobyah
Cuplikan Babad tentang Dewi Danuh dan Gunung Batur
 
 
Pura Batur yang lebih dikenal dengan Pura Ulun Danu terletak pada ketinggian 900 m di atas permukaan laut tepatnya di Desa Kalanganyar Kecamatan Kintamani di sebelah Timur jalan raya Denpasar-Singaraja.
Pura ini menghadap ke barat yang dilatarbelakangi Gunung Batur dengan lava hitamnya serta Danau Batur yang membentang jauh di kaki Gunung Batur, melengkapi keindahan alam di sekeliling pura.
Sebelum letaknya yang sekarang ini, Pura Batur terletak di lereng Barat Daya Gunung Batur. Karena letusan dasyat pada tahun 1917 yang telah menghancurkan semuanya, termasuk pura ini kecuali sebuah pelinggih yang tertinggi. Akhirnya berkat inisiatif kepala desa bersama pemuka desa, mereka membawa pelinggih yang masih utuh dan membangun kembali Pura Batur ke tempat yang lebih tinggi yakni pada lokasi saat ini. Upacara di pura ini dirayakan setiap tahun yang dinamakan Ngusaba Kedasa.
SEJARAH PURA BATUR
Sebelum letusan Gunung Batur yang dasyat pada tahun 1917, Pura Batur semula terletak di kaki Gunung itu dekat tepi Barat Daya Danau Batur yang merusakkan 65.000 rumah, 2.500 Pura dan lebih dari ribuan kehidupan. Tetapi keajaiban menghentikannya pada kaki Pura. Orang-orang melihat semua ini sebagai pertanda baik dan melanjutkan untuk tetap tinggal disana. Pada tahun 1926 letusan baru menutupi seluruh Pura kecuali "Pelinggih" yang tertinggi, temapt pemujaan kepada Tuhan dalam perwujudan Dewi Danu, Dewi air danau. Kemudian warga desa bersikeras untuk menempatkannya di tempat yang lebih tinggi dan memulai tusag mereka untuk membangun kembali pura. Mereka membawa pelinggih yang masih utuh dan membangun kembali Pura Batur.
Beberapa lontar suci Bali kuno menceritakan asal mula Pura Batur yang merupakan bagian dari "sad kayangan" enam kelompok Pura yang ada di Bali yang tercatat dalam lontar Widhi Sastra, lontar Raja Purana dan Babad Pasek Kayu Selem. Pura Batur juga dinyatakan sebagai Pura "Kayangan Jagat" yang disungsung oleh masyarakat umum.
Sejarah Pura Batur merupakan persembahan untuk Dewi Kesuburan, Dewi Danu. Dia adalah Dewi dari air danau. Air yang kaya akan mineral mengalir dari Danau Batur, mengalir dari satu petak sawah ke petak sawah yang lainnya, lambat laun turun ke bumi. Dalam lontar Usaha Bali, salah satu sastra suci yang ditempatkan di pura itu, ada legenda kuno yang melukiskan susunan dari tahta Dewi Danu.
Legenda tersebut diceritakan sebagai berikut :
Pada suatu malam di awal bulan kelima Margasari Dewa Pasupati (Siwa) memindahkan puncak Gunung Mahameru di India dan membaginya menjadi dua bagian. Dibawanya satu bagian dengan tangan kirinya dan yang satunya dengan tangan kanannya. Kedua belahan itu dibawa menjadi tahta. Belahan yang dibawa dengan tangan kanannya menjadi Gunung Agung tahta untuk anaknya, Dewa Putranjaya (mahadewa Siwa) dan yang dibawanya dengan tangan kiri menjadi Gunung Batur tahta dari Dewi Danu, Dewi Air Danau. Legenda ini menjadikan Gunung terbesar di Bali dan dua elemen simbolis "laki-laki dan perempuan" (Purasa dan Pradana) atau dua asal mula manifestasi dari sumber; Tuhan (Ida Sang Hyang Widhi Wasa).
Identifikasi dan Daya Tarik
Nama obyek wisata kawasan Batur disesuaikan dengan potensi yang ada yaitu Gunung Batur dan Danau Batur. Nama Pura Batur berasal dari nama Gunung Batur yang merupakan salah satu Pura Sad Kahyangan di emong oleh Warga Desa Batur. Sebelum meletusnya Gunung Batur pada tahun 1917, Pura Batur berada di kaki sebelah Barat Daya Gunung Batur. Akibat kerusakan yang ditimbulkan oleh letusan Gunung Batur ini, maka Pura bersama warga desa Batur dipindahkan di tempat sekarang. Sisa-sisa lahar yang membeku berwarna hitam, Gunung Batur tegak menjulang, Danau Batur teduh membiru, merupakan suatu daya tarik bagi setiap pengunjung. Dari Penelokan dapat memandang birunya Danau Batur dan buih-buih ombak yang menepi menemani sopir boat saat melayani wisatawan dan penumpang umum dalam setiap penyebrangan dari Desa Kedisan ke Desa Trunyan. Para nelayan juga mewarnai kesibukan di Danau Batur mengail ikan mujair yang hasil tangkapannya di jual di pasar Kota Bangli, sehingga di Bangli dikenal dengan sate mujairnya yang merupakan makanan ciri khas Kabupaten Bangli.
Lokasi
Obyek Wisata Kawasan Batur terletak di Desa Batur, Kecamatan Kintamani Kabupaten Daerah Tingkat II Bangli. Obyek Wisata Kawasan Batur berada pada ketinggian 900 m di atas permukaan laut dengan suhu udaranya berhawa sejuk pada siang ahri dan dingin pada malam hari. Untuk mencapai lokasi ini dari Ibu Kota Bangli jaraknya 23 km. Obyek wisata ini dapat dilalui dengan kendaraan bermotor, karena lokasi ini menghubungkan kota Bangli dan kota Singaraja. Sedangkan rute obyek, menghubungkan Obyek Wisata Kawasan Batur dengan Obyek Wisata Tampaksiring dan Besakih.
Fasilitas
Di obyek wisata Kawasan Batur sudah tersedia tempat parkir, rumah makan, restoran, penginapan, toilet, wartel, serta warung-warung minuman dan makanan kecil. Mengenai fasilitas angkutan umum dan angkutan penyeberangan sudah tersedia.
Kunjungan
Obyek wisata Kawasan Batur ramai dikunjungi oleh wisatawan Mancanegara dan Nusantara. Kunjungan yang paling menonjol sekitar bulan Agustus, Desember, saat menyambut Tahun Baru dan suasana Tahun Baru. Demikian pula pada hari-hari Raya Galungan, Idul Fitri dan Hari Raya Natal, bahkan sering dikunjungi oleh tamu Negara baik dari pusat maupun tamu dari luar negeri.
Deskripsi
Sumber-sumber yang menyebutkan tentang Batur adalah Lontar Kesmu Dewa. Lontar Usana Bali dan Lontar Raja Purana Batur. Disebutkan bahwa Pura Batur sudah ada sejak jaman Empu Kuturan yaitu abad X sampai permulaan abad XI. Luasnya areal dan banyaknya pelinggih-pelinggih maka diperkirakan bahwa Pura Batur adalah Penyiwi raja-raja yang berkuasa di Bali, sekaligus merupakan Kahyangan Jagat. Di Pura Batur yang diistanakan adalah Dewi Danu yang disebutkan dalam Lontar Usana Bali yang terjemahannya sebagai berikut : Adalah ceritera, terjadi pada bulan Marga Sari (bulan ke V) waktu Kresna Paksa (Tilem) tersebutlah Betara Pasupati di India sedang memindahkan Puncak Gunung Maha Meru dibagi menjadi dua, dipegang dengan tangan kiri dan kanan lalu dibawa ke Bali digunakan sebagai sthana Putra beliau yaitu Betara Putrajaya (Hyang Maha Dewa) dan puncak gunung yang dibawa tangan kiri menjadi Gunung Batur sebagai sthana Betari Danuh, keduanya itulah sebagai ulunya Pulau Bali. Kedua Gunung ini merupakan lambang unsur Purusa dan Pradana dari Sang Hyang Widhi. Pura Batur merupakan tempat Pemujaan Umat Hindu di seluruh Bali khususnya Bali Tengah, Utara dan Timur memohon keselamatan di bidang persawahan. Sehingga pada saat puja wali yang jatuh pada Purnamaning ke X (kedasa) seluruh umat terutama pada semua kelian subak, sedahan-sedahan datang ke Pura Batur menghaturkan "Suwinih". Demikian kalau terjadi bencana hama.
Dari Blandingan sampai Penglipuran
PURA Ulun Danu Batur, Kintamani, Bangli sebagai pura banuwa disembah oleh empat puluh lima desa di Bali, dengan Desa Batur sebagai penanggung jawab utamanya. Keempat puluh lima desa tersebut wajib mengeluarkan bahan upacara yang disebut atos. Pemuja ini terjadi karena perjalanan Ida Bhatari Dewi Danu ke desa-desa di sekitarnya.
Dikisahkan, Ida Bhatara Indra memberikan putra kedua tirta yang disebut Mas Manik Mampeh yang menjadi aset wisata di sekitar Danau Batur. Jalannya melewati Desa Songan, Kintamani, Bangli. Air ini sangat besar namun karena diberi pesan oleh Bhatara Indra tak boleh dimanfaatkan oleh orang Batur, maka Ida Bhatari Dewi Danu (I Ratu Ayu Mas Membah) berniat menjualnya. Semula yang akan menjual adalah putranya.
''Ibu hamba khawatir karena Ibu seorang putri tentunya akan banyak halangan, biarlah nanda yang menjualnya,'' kata putranya. ''Oh nanda jangan khawatir, ibu bisa menjaga diri,'' jawab Dewi Danu. Seketika Beliau berubah wujud menjadi seorang tua laki-laki yang sudah renta dan badannya penuh dengan luka, kudisan. ''Nah nanda adakah yang akan mengetahui ibu?''
Demikianlah Beliau menuju arah timur laut, sampai pada sebuah dataran tinggi sambil memikul air dalam dua buah labu pahit. Beliau tiba di dataran Bubung Kelambu, di sana beliau istirahat. Karena ragu airnya sejak tadi tumpah waktu dipikul, Beliau mengeluarkan airnya, dan memancur dari labunya, sehingga tempat itu diberi nama Tirta Mas Manik Mancur. Letaknya di sebelah barat Desa Blandingan.
Perjalanan dilanjutkan dan Beliau tiba di Desa Munti Gunung. ''Tuan, tuan yang ada di desa ini, saya menjual air, apakah tuan sudi membelinya?'' Penduduk Munti Gunung merasa jijik melihat Beliau yang pebuh kudisan dan baunya menusuk hidung sangat busuk. Lalu mereka berkata, ''Ah siapa sudi membeli airmu, kamu saja seperti pengemis, dan baumu sangat busuk. Bagaimana dengan airnya, tentunya juga busuk. Sana kamu pergi jangan di sini mengemis''.
''Oh kamu orang Munti Gunung, kamu sekalian tidak tahu Aku ini Bhatari Batur menjual air, dan kamu telah menghina Aku sebagai pengemis. Semoga nanti kamu sekalian sangat sulit hidupmu dan hanya akan hidup dari mengemis''. Begitulah, sampai saat ini penduduk Munti Gunung selalu meresahkan Denpasar dengan gayanya mengemis serta menjadi ''peminta-minta di jalan perempatan''.
Selanjutnya, Dewi Danu menjajakan air dari Batu Ringgit menuju ke barat. Namun satu desa pun tak ada yang mau membelinya dengan dalih pedagangnya sangat menjijikkan, serta mereka menyatakan sudah dekat dengan laut, mudah mencari air.
Tiba di Desa Les, Dewi Danu kembali menjajakan airnya. ''Tuan, tuan apakah tuan ada niat membeli air, saya menjual air''. Penduduk Les merencanakan membeli dengan dua kepeng, namun baru membayar satu kepeng. Itu pun dengan jalan menggadaikan sabit besar (tah). ''Nah Tuan sekalian, Aku ini Bhatari Batur, dan air ini berilah nama Toya Mampeh, dan tuan hendaknya menggantinya setiap tahun ke Batur''.
Sejak itu, setiap tahun pada Purnama Kedasa Desa Adat Les ngatos ke Batur berupa beras, babi, ayam aduan (uran akembaran) serta bahan lainnya sesuai dengan permintaan dari Penghulu Setimaan Batur. Di Desa Tejakula yang semula sebagai tempat buangan, Beliau menjual airnya dengan dua kepeng, serta dibayar dengan kerbau, dan selanjutnya, penduduk berminat membeli dengan tiga kepeng, karenanya beliau mengambil airnya sampai ke dasar labu, akibatnya kotoran labu dan jentik pun ikut dalam gayungnya. Penduduk lantas dikutuk ''agar sumurnya dalam dengan sebutan Buhun Dalem -- Bondalem''.
Perjalanan menuju ke barat dan di Pantai Ponjok Batur airnya dituangkan sedikit, sehingga di sana ada mata air yang jika air laut surut airnya kelihatan. Sampai di satu tempat dan semua airnya dituangkan serta dikutuk: ''semoga air ini tak bisa dijadikan air pertanian, dan air ini agar irit (inih) sehingga tempat itu menjadi Air (Sangat) Inih -- Air Sanih.
***
DEWI Danu kemudian berganti rupa kembali menjadi seorang putri yang sangat cantik dan telah tiba di sekitar perbatasan Kubu Tambahan. Beliau menjunjung bambu kecil dan berkata pada penduduk, ''Tuan, tuan di Kubu Tambahan apakah tuan mau membeli kerbau, saya menjual kerbau''. ''Ah ada-ada saja kamu mengatakan menjual kerbau, mana kerbaumu?'' ''Ini tuan kerbaunya saya tempatkan pada bambu yang saya jungjung,'' sahut Dewi Danu.
Mereka merasa ditipu, mana mungkin kerbau ada dalam sepotong bambu. Lalu, bambunya dirampas, dan dilihat ternyata di dalamnya kelihatan kerbau beberapa ekor, berkeliaran dalam bambu. Bambunya di balik, keluarlah beberapa ekor kerbau. Pemuka adat Kubu Tambahan dan Bungkulan mengusir kerbau tersebut, sehingga lari tunggang langgang melampaui beberapa desa seperti Penarukan, Banyuning, Swan, Jinengdalem, Kerobokan, dan sekitarnya.
Setelah sore Dewi Danu memanggil kerbaunya, namun seekor yang paling besar dipotong oleh penduduk Kubu Tambahan dan Bungkulan, dagingnya dibagi rata. Bhatari Batur lantas mengutuk: ''Tuan sekalian, Aku ini Bhatari Batur, nanti semua desa yang bekas diinjak kerbauku harus membayar ke Batur, dan tuan penduduk Kubu Tambahan dan Bungkulan yang memotong kerbauku harus menggantinya secara bergilir ke Batur dengan kerbau hidup.'' Begitulah, Kubutambahan dan Bungkulan secara bergantian membayar kerbau ke Batur, dan semua desa yang dilewati beliau dan bekas injakan kerbaunya sebagai pemuja Pura Ulun Danur Batur.
Dewi Danu atau Ida Bhatari Batur kembali ingin menambah wewidangan-nya dan Beliau berganti rupa menjadi gadis desa sangat cantik sambil berjualan gantal pada sabungan ayam di Kehen. Waktu itu, Ida Bhatara Kehen melihat beliau dalam hatinya berkata: ''Ah kenapa ada dagang gantal sangat cantik, kalau ini kujadikan istri sangat cocok sebagai penguasa''. Dagang tersebut didekati: ''Putri cantik kiranya tak cocok berdagang, bagaimana kalau Anda saya ambil menjadi istriku''. ''Mohon maaf, saya tak bisa menikah,'' sahut Bhatari Batur. ''Ah mana mungkin ada orang tak boleh menikah,'' kata Ida Bhatara Kehen. Lalu Bhatari Batur diperkosa.
''Hai tuan penguasa Kehen, kiranya tuan tak tahu siapa Aku, coba sekali lagi tuan memperkosa saya,'' tantang Bhatari Batur. Karena jengkel kembali Beliau mau diperkosa, mendadak Bhatari Batur berkata: ''Tuan Aku ini Bhatari Batur. Tuan sangat sombong baru di tempatmu, sekarang semoga ada gunung yang membuang air Danau Batur agar tak sampai ke Bangli''. Mendadak di selatan kota terbentang gunung yang membujur dari barat ke timur menutup aliran air Danau Batur. ''Ah, kamu baru bisa begitu saja sudah sombong, aku juga bisa,'' kata Ida Bhatara Kehen. Beliau lantas berkata: ''Semoga ada belut besi, kepiting besi yang melubangi gunung tersebut''. Benar saja, mendadak gunung tersebut dilubangi oleh belut besi dan kepiting besi yang saat ini tersimpan di Trunyan.
Akhirnya, Bhatari Batur kembali ke Batur. Namun sebelumnya mereka sama-sama mengutuk. ''Nanti jika Bhatari melewati daerahku engkau akan aku denda,'' kata Bhatara Kehen. ''Ya aku akan membayarnya, tetapi Aku juga mengutuk semua orang Bangli yang memiliki genta, harus membayar denda ke Batur,'' kutuk Bhatari Batur.
Sampai kini kutukan tersebut tetap berlaku, dan karena gagal mempersunting Bhatari Batur, Bhatara Kehen mengambil ''istri penawing'' ke Penglipuran.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar